Example 728x250
BeritaViral

Outsourcing Posisi Inti (Collection) di Bank BUMN – Eksploitasi Sistemik atau Keteledoran Regulasi?

39
×

Outsourcing Posisi Inti (Collection) di Bank BUMN – Eksploitasi Sistemik atau Keteledoran Regulasi?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Logo Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Foto: Laman FB @ Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia)
Ilustrasi Logo Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Foto: Laman FB @ Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia)
Example 728x250

Oleh: Arten Masiaga

Maraknya praktik alih daya (outsourcing) untuk posisi strategis di sektor perbankan, khususnya di BUMN, cukup memprihatinkan. Meski UU Ketenagakerjaan melarang outsourcing untuk pekerjaan inti, nyatanya, masih banyak bank yang “mengakali” aturan ini.

Salah satu contoh paling ironis adalah penggunaan tenaga outsourcing untuk posisi “collection”, pekerjaan yang justru bersinggungan langsung dengan aset dan risiko keuangan institusi.

Outsourcing Posisi Inti: Pelanggaran yang Disistemisasi

Dalam UU No. 13 Tahun 2003, outsourcing hanya diperbolehkan untuk pekerjaan non-inti, seperti kebersihan atau keamanan.

Namun, tidak sedikit kita melihat banyak bank BUMN, termasuk salah satu pelaku utama kredit perumahan, terus mengalihdayakan posisi krusial seperti penagihan utang. Padahal, penagihan adalah ujung tombak pengelolaan kredit, yang merupakan jantung bisnis perbankan. Ini jelas melanggar semangat UU, tetapi perusahaan seolah “buta” dengan dalih efisiensi biaya.

Omnibus Law Cipta Kerja: Pintu Masuk Liberalisasi Perlindungan Pekerja?

Revisi UU Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 disebut-sebut memperluas fleksibilitas outsourcing. Namun, dalam praktiknya, fleksibilitas ini justru dimanipulasi.

Perusahaan menggunakan Pasal 59 yang memperpanjang masa kontrak PKWT hingga 5 tahun untuk mengikat pekerja “collection” dalam status tidak pasti. Saya khawatir dan menduga Omnibus Law, yang digadang mendukung investasi, justru menjadi alat korporasi untuk melemahkan posisi pekerja.

Nasib Pekerja: Antara Kontrak Tidak Manusiawi dan Ancaman PHK

Pernahkah kita bertanya mengapa perusahaan enggan mengubah status outsourcing menjadi karyawan tetap ?

Jawabannya sederhana: menghindari kewajiban membayar pesangon, THR, atau jaminan pensiun. Tidak sedikit kita bahkan mendengar banyak pekerja “collection” yang diikat kontrak 1 tahun, tanpa kepastian perpanjangan.

Mereka dipaksa tunduk pada tekanan target penagihan, tetapi hak dasar seperti BPJS Ketenagakerjaan kerap diabaikan. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan bentuk eksploitasi struktural.

Mitos Pekerjaan “Pendukung” dalam Aktivitas Inti

Kita mungkin tidak habis pikir dengan argumen perusahaan yang menyebut posisi “collection” sebagai “pekerjaan pendukung”.

Bagaimana mungkin penagihan utang, yang berkaitan langsung dengan cash flow dan kesehatan keuangan bank—dikategorikan non-inti? Ini jelas pembenaran yang absurd. Jika logika ini diterima, bukan tidak mungkin seluruh divisi di bank akan dialihdayakan, hanya menyisakan direksi sebagai “inti”.

Konsekuensi Hukum

UU No. 13 Tahun 2003 sebenarnya mengancam sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan denda hingga Rp400 juta bagi pelanggar outsourcing.

Namun, sejauh mana aturan ini ditegakkan? Pemerintah lebih sering bersikap reaktif—baru bertindak saat ada protes atau gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Tanpa penegakan hukum yang konsisten, pelanggaran akan terus berulang.

Dilema Regulasi: Perlindungan Pekerja vs Daya Saing Perusahaan

Pemerintah kerap berargumen bahwa fleksibilitas outsourcing diperlukan untuk menjaga daya saing. Tapi, sampai kapan kita mengorbankan hak pekerja demi laba perusahaan? Saya yakin, bukan tidak mungkin menciptakan regulasi yang seimbang—melindungi pekerja tanpa membebani industri. Misalnya, memperketat izin outsourcing dan memberi sanksi progresif bagi pelanggar.

Masa Depan Suram Jika Praktik Ini Dibiarkan

Jika tidak ada perubahan, kita akan menyaksikan generasi pekerja yang terjebak dalam status “kontrak seumur hidup”. Mereka tak punya akses terhadap jaminan sosial, karier mandek, dan hidup dalam ketidakpastian. Pada akhirnya, ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga kemanusiaan. Negara wajib hadir melindungi warganya dari sistem yang mendiskriminasi.

Penutup: Darurat Keadilan bagi Pekerja Outsourcing

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa penggunaan outsourcing untuk posisi inti di BUMN bukan hanya ilegal, tetapi juga tidak bermoral.

Perusahaan dan pemerintah harus berhenti berpura-pura tidak tahu. Jika BUMN—yang seharusnya menjadi contoh tata kelola baik—masih membiarkan praktik ini, lantas apa harapan bagi sektor swasta? Saatnya kita menolak diam. Saatnya pekerja bersuara, dan negara bertindak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *