Penulis: Nanang Syawal
Dalam sebuah panggung demokrasi, setiap lakon politik seharusnya dijalankan dengan integritas dan akal sehat. Partai politik, sebagai rumah ideologis dan inkubator kader bangsa, sejatinya menjaga martabat kadernya, baik saat mereka naik, maupun ketika sedang diuji. Mereka bukan sekadar alat perebut kekuasaan, melainkan pilar pembentuk karakter bangsa.
Maka, ketika sorotan media mengarah bertubi-tubi pada sosok Mustafa Yasin—anggota DPRD Provinsi Gorontalo yang belum genap setahun dilantik—publik pun ikut menyimak: apakah ini bentuk pengawasan sehat dalam sistem demokrasi, atau sekadar skenario murahan dari pihak-pihak yang tak sabar naik pangkat? Di tengah narasi besar tentang transparansi dan akuntabilitas, muncul pula aroma intrik dan manuver yang sering kali justru lahir dari dapur internal partai itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri, kiprah Mustafa Yasin di luar politik terbilang solid. Ia bukan politisi instan yang datang dari ruang kosong. Dua dekade lebih ia mengabdikan diri di sektor travel haji dan umrah, membangun dari bawah hingga memiliki reputasi sebagai pengusaha yang nyaris tak pernah terdengar skandalnya.
Sosoknya dikenal konsisten, kalem, dan menjauh dari gemerlap pencitraan. Bahkan, saat kebanyakan orang berlomba mengincar jabatan sebagai jalan pintas untuk memperbaiki nasib, ia justru telah mapan lebih dulu secara usaha maupun sosial. Ia masuk ke politik bukan karena kebutuhan, melainkan karena panggilan kontribusi. Ironisnya, justru setelah menduduki kursi DPRD, badai mulai datang—dan menariknya, bukan dari lawan politik atau kelompok oposisi, tapi diduga dari lingkar dalam partai sendiri.
Ini membuka pertanyaan yang lebih luas: apakah keberadaan orang yang bersih dan independen terlalu mengancam bagi mereka yang sudah terbiasa bermain dalam sistem politik yang penuh transaksionalitas?
Di sinilah aroma busuk mulai tercium, semakin tajam dan sulit disembunyikan. Dalam spekulasi liar, saya melihat kehebohan ini di media, sepertinya ada indikasi bahwa kader partai sendiri yang menggiring narasi, menyulut kehebohan di media, dan memanfaatkan ruang publik untuk mendorong opini bahwa Mustafa Yasin layak diberhentikan melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Langkah itu bukan muncul dari proses evaluasi objektif, melainkan didorong oleh hasrat kekuasaan yang dibungkus rapi dengan dalih moralitas dan disiplin organisasi. Motifnya tampak telanjang: ambisi individual. Ini bukan tentang menjaga marwah partai, melainkan tentang membuka jalan bagi orang-orang tertentu yang sejak awal tampaknya tak sabar menunggu giliran.
Mengutip George Orwell dalam esainya Politics and the English Language (1946), “Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable.” Kalimat ini terasa relevan dalam konteks sekarang, ketika bahasa politik justru menjadi alat manipulasi, bukan klarifikasi. Maka, yang dipertontonkan sebagai tindakan etis dan korektif, bisa jadi hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan perebutan kekuasaan secara halus namun kejam.
Etika dijadikan kostum, sementara motif sesungguhnya tetap tersembunyi di balik layar.Narasi media pun seperti digerakkan secara sistematis. Isu kehadiran Mustafa Yasin dalam sidang DPRD diangkat berulang kali, seolah disengaja untuk membentuk persepsi publik yang negatif. Banyak hal yang muncul di media digoreng, dan potongan-potongan pernyataan dimanipulasi agar membentuk citra buruk.
Publik yang cerdas tentu tidak akan menelan semua begitu saja. Mereka akan bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kegaduhan ini? Siapa yang paling cepat menanggapi isu, paling aktif memantik percakapan di media, dan paling rajin “bekerja” di balik panggung? Semua tanda itu mengarah pada satu simpulan pahit: mereka tidak sedang berjuang menegakkan etika, melainkan berusaha merebut kursi kosong yang sedang dipanaskan.
Dan ketika kekuasaan menjadi tujuan utama, loyalitas, kejujuran, dan integritas bisa dengan mudah dikorbankan.
Niccolò Machiavelli dalam bukunya The Prince mengatakan, “It is much safer to be feared than loved, if one must choose.” Sebuah adagium klasik yang terus hidup dalam praktik politik kontemporer. Para pemain kekuasaan memahami betul bahwa dalam realitas politik modern, yang penting bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi publik.
Mereka tahu bahwa membentuk citra lebih penting daripada membangun substansi, dan bahwa menguasai narasi jauh lebih menentukan daripada menguasai fakta. Maka jika memang adapartai yang dengan sengaja mendesain kegaduhan demi membuka jalan PAW, sesungguhnya itu bukanlah fenomena baru.
Politik kita sudah lama mengenal pola-pola seperti ini yang berubah hanyalah nama pelakunya dan konteks waktunya. Skenarionya tetap serupa: mengincar jabatan tanpa peluh perjuangan elektoral; naik ke panggung kekuasaan bukan karena dipilih rakyat, melainkan karena berhasil menyingkirkan sesama kader.
Ketika dihubungkan dalam konteks lokal Gorontalo, praktik seperti ini bukan hal asing. Budaya “tutuhia” atau sikut menyikut, saling menjatuhkan sesama dari belakang—sayangnya masih kuat membekas dalam dinamika sosial dan politik kita.
Alih-alih membangun sinergi dan saling menguatkan, yang muncul justru persaingan yang tak sehat, dibungkus senyuman tapi bermuka dua.
Jika budaya “tutuhia” dibiarkan menjadi pola lazim dalam kehidupan, maka regenerasi yang ideal akan tergantikan oleh perebutan kekuasaan yang licik.Inilah saatnya partai politik sebagai pilar demokrasi dan penjaga moral publik berani berbenah.
Bukan hanya dengan membenahi sistem kaderisasi, tapi juga menanamkan budaya baru: budaya saling dorong ke atas, bukan saling sikut ke bawah. Sebab tanpa itu, kita hanya akan melahirkan politisi yang mahir memainkan drama, tapi miskin nilai perjuangan. Dan pada akhirnya, demokrasi pun kehilangan ruhnya.